Entri Populer

Minggu, 29 Mei 2011

Tugas MPS




A.    Latar Belakang
Sepakbola merupakan olahraga yang banyak diminati oleh masyarakat dari berbagai kalangan tanpa memandang kasta dan usia. Selain itu, adanya kemajuan teknologi menyebabkan sepakbola dapat dinikmati dengan mudah oleh masyarakat, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Berbagai faktor tersebut yang menjadikan sepakbola  sebagai olahraga yang digandrungi oleh banyak orang dan dimanapun. Hal ini sejalan dengan pendapat Jones (dalam Achmalia, 2007) yang menyatakan bahwa sepakbola mempunyai penonton yang paling banyak dibanding dengan olahraga yang lain. Berdasarkan pemahaman, penonton dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yakni penonton yang hanya sekedar menikmati pertandingan sepakbola tanpa memihak atau mendukung salah satu tim sepakbola serta kelompok penonton yang mendukung dan memberikan semangat kepada tim sepakbola yang mereka dukung, kelompok penonton yang kedua  ini disebut suporter.
Sepakbola dan suporter seolah tidak akan pernah terpisah. Keberadaan suporter memiliki fungsi sebagai pendukung saat tim kesayangannya bertanding kapanpun dan dimanapun. Tim sepakbola seolah tidak bernyawa, jika dalam bertanding tidak didukung oleh suporter mereka. Suporter seolah-olah menjelma menjadi nyawa kedua pada suatu kesebelasan sepakbola.Keberadaan suporter merupakan salah satu pilar penting yang wajib ada dalam suatu pertandingan sepakbola,agar suasana tidak terasa hambar dan tanpa makna. Kehadiran supporter dalam mendukung klub, sangat terasa efeknya dalam mengobarkan semangat bertanding pada diri para pemain.Dalam mendukung tim kesayangannya bertanding, suporter sangat kreatif dengan menampilkan berbagai aksinya di lapangan, sehingga mampu mencuri perhatian penonton maupun media,seperti menari, menyanyi dan meneriakkan yel-yel dengan diiringi tabuh genderang.Semua itu dilakukan untuk memacu semangat pemain di dalam setiap pertandingan. Lagu-lagu dan yel-yel yang dinyayikan oleh para suporter mungkin sama efeknya dengan energi yang dimunculkan dari doping dalam memacu semangat pemain, yaitu semakin bernafsu untuk mempersembahkan kemenangan untuk memuaskan para pendukungnya (Kartiko dalam Suyatna, 2007 : 34).
Sudah tentu hadirnya suporter-suporter di lapangan memiliki fungsi utama, yaitu mendukung suatu kesebelasan dalam bertanding untuk mengobarkan semangat pemain agar dapat memenangkan setiap pertandingan.Keberadaan suporter akan semakin kuat bila didalamnya terorganisir dengan baik.Tertatanya struktur organisasi suporter sepakbola memilki peranan strategis untuk mengompakkan setiap aksi, pendukung semangat, pemberi motivasi,bahkan sampai pendukung dana bagi suatu kesebelasan.
    Munculnya suporter-suporter yang terorganisir dapat semakin menambah serunya atmosfir sepakbola di lapangan, karena mereka menampilkan suatu atraksi yang unik dan atraktif yang mampu mencuri perhatian khususnya para penggila bola.Sikap fanatisme suporter kepada suatu kesebelasan menjadi modal utama dalam mendukung tim kesayangannya dalam bertanding dimanapun.Pada saat menonton pertandingan sepakbola, mereka selalu datang dalam jumlah yang banyak dan berkerumun.Sering kali pada saat menonton pertandingan sepakbola di stadion, mereka bertemu dengan suporter tim lainnya. Kerap terjadi pertikaian diantara mereka.Sikap fanatisme yang berlebihan terhadap tim yang mereka bela dan fanatisme dalam menjunjung tinggi identitas kelompok yang diagung-agungkan, menjadi salah satu pemicu tindakan anarkis suporter bola.
Pertikaian antar suporter menjadi perhatian serius di kalangan penggila bola bahkan dikalangan pemerintah suatu negara.Seringkali pertikaian antar suporter menimbulkan kerugian diberbagai pihak, antara lain rusaknya stadion, kendaraan-kendaraan yang di parkir di sekitar stadion, korban luka-luka bahkan kerap sekali kericuhan antar suporter sepakbola mengakibatkan korban jiwa.
Salah satu contoh tindakan anarkis suporter sepakbola dalam liga Indonesia XI dan Copa Indonesia tahun 2005. Kompetisi sepakbola Indonesia masih saja diwarnai sejumlah aksi anarkisitis. Tidak cuma korba luka, nyawapun melayang akibat rusuh. Berikut ini data kerusuhan suporter dalam Liga Indonesia tahun 2005-2007 sebagaimana di kutip oleh Tabloit Bola edisi Jum’at 30 Desember 2005. Pada tanggal 25 April 5005, pertandingan Arema Malang versus Persekapas Pasuruan terjadi kerusuhan di stadion Willis Madiun antara suporter Arema dan Persekapas. Akibatnya stadion rusak. Tanggal 13 Maret 2006 pada saat PSIS Semarang melawat ke Jepara, terjadi kerusuhan antara Panser Biru (suporter PSIS) dan Jet Man (suporter Persijap Jepara). Akibatnya satu orang bocah cilik bernama Muhammad Rifki terinjak-injak penonton dan sejumlah kendaraan dan truk suporter PSIS dirusak Jet Man. Pada tanggal 28 Februari 2008 terjadi bentrok antara The Jak (suporter Persija Jakarta) dengan suporter Persipura Jayapura. Akibatnya, satu anggota The Jak tewas dalam kerusuhan (Suyatna, 2007:6).
Dalam suatu organisasi besar, kususnya suporter sepakbola, di dalamnya terdiri dari beragai macam orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.Perbedaan ras dan kefanatikan terhadap raslah mampu membuat adanya perbedaan kasta di dalam suporter itu sendiri.Hal ini bila terus-menerus terjadi pada suatu organisasi suporter sepakbola, lama kelamaan akan menjadi konflik internal diantara anggota suporter tersebut.Perebutan kekuasaan penguasa lapangan juga menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik suporter.
Berbeda dengan yang terjadi pada kubu suporter klub yang berjuluk Laskar Mataram PSIM Jogjakarta yaitu Brajamusti alias Brayat Jogja Mataram Utama Sejati. Brajamusti didirikan pada tahun 2003 oleh sekelompok pendukung PSIM.Dari sekian banyak pertemuan-pertemuan melibatkan laskar-laskar PSIM waktu itu maka pada tanggal 15 Februari 2003 di Yogyakarta tepatnya di Balai RK Mangkukusuman,terpilih dari sekian banyak nama-nama akhirnya dipilih nama Brajamusti kepanjangan dari 'Brayat Jogja Mataram Utama Sejati'.Maksud dari pengambilan nama Brajamusti untuk wadah suporter PSIM adalah supaya Brajamusti menjadi senjata atau aji-ajian yang ampuh untuk PSIM untuk menghadapi lawan-lawannya dipentas sepakbola Nasional. Jadi Brajamusti selalu ada disamping PSIM dimanapun berlaga.Brajamusti adalah suatu kelompok dengan berbagai latar belakang intelektualitas, sosial, politik, dan ekonomi yang bergabung bersamasama dengan satu tujuan mendukung PSIM bertanding menang atau kalah dimanapun dan kapanpun.Loyalitas Brajamusti dalam mendukung PSIM Jogjakarta sangat diakui eksistensinya diLiga Indonesia sebagai salah satu suporter fanatik. (http://www.brajamustijogja.com. desember 2010, downloads 22 mei 2011)
Tingkat fanatisme warga Jogjakarta terhadap PSIM sangatlah tinggi,terbukti dengan adanya dua militansi suporter PSIM yang selalu hadir di setiap laga PSIM digelar, baik kandang maupun tandang, mereka menyebut diri dengan Brajamusti dan The Maident.Santer diberitakan tentang kegoncangan yang dialami oleh Brajamusti sehingga menimbulkan berbagai permasalahan internal. Brajamusti sejak tahun 2003 menguasai atmosfir stadion Mandala Krida, menjadi penguasa tunggal Mandala Krida, menjelma menjadi sebuah organisasi dengan jumlah massa yang begitu besar. Sayangnya potensi ini tidak diikuti dengan penataan organisasi dan menejemen konflik yang rapi.
 Monopoli yang dilakukan oleh Brajamusti selama 7 tahun perlahan mulai menuai ancaman, terutama dari dalam tubuh Brajamusti.Ketidakakuran antar korwil dan perebutan kursi ketua umum memicu terjadinya konflik internal Brajamusti dan mengakibatkan perpecahan Brajamusti.Satu pihak,eksistensi Brajamusti masih diakui sebagai suporter fanatik PSIM Jogja,dilain pihak muncul suporter PSIM yang baru dengan mengatasnamakan The Maident alias Mataram Independent dari perpecahan tersebut. PSIM Jogja memiliki dua suporter yang berbeda di dalam satu kota, yaitu Brajamusti dan The Maident. Brajamusti dan The Maident memang sudah tidak sama lagi, baik atribut yang dikenakan pada saat menonton pertandingan sepakbola, yelyel yang dinyayikan dan sebagainya. (http://www.bolaindo.com/?page=berita&sub)
Hampir disetiap laga PSIM di Stadion Mandala Krida sering diwarnai aksi anarkisme yang dilakukan suporter Brajamusti dan The Maident.Mereka sering bertikai satu sama lain.Konflik tersebut terjadi pada dua suporter yang mendukung tim yang sama. Rasa tidak dapat menerima atas perpecahaan tersebut menjadikan suatu dendam pada kedua belah pihak. Sikap saling ejek, gesekan secara spontan di dalam maupun di luar stadion, dan didukung sifat fanatisme kelompok yang berlebihan menjadi salah satu pemicu tindakan anarkisme antara Brajamusti dan The Maident.Perselisihan antara Brajamusti dan The Maident terjadi karena provokasi lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Brajamusti yang menyinggung supporter The Maident,sehingga terjadilah insiden yang menimbulkan jatuhnya korban. (http://jogja.tribunnews.com/m/index.php/2010/komisi-d-tanyakan-soal-kerusuhan-suporter)
Dampak dari konflik antara Brajamusti dan The Maident berimbas pada warga kota Jogjakarta dan sekitarnya, antara lain mereka merasa was-was bila mengenakan atribut Brajamusti ataupun The Maident pada saat menonton pertandingan sepakbola di stadion maupun hari-hari biasa. Mereka berasumsi bahwa Brajamusti dan The Maident sudah berbeda atribut, pertikaian sering terjadi diantara mereka, apabila mengenakan atribut salah satu dari mereka maka bisa ikut terkena imbas pertikaian mereka, sebab mereka tidak seperti dulu lagi ketika masih bersatu dalam satu wadah yaitu Brajamusti.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana konflik suporter sepakbola Brajamusti dan The Maident?

C.    Tujuan Penelitian
1. Memperoleh gambaran konflik internal Brajamusti yang memicu lahirnya konflik eksternal Brajamusti.
2. Memperoleh gambaran konflik yang terjadi anatara Brajamusti dan The Maident yang bernotabene sebagai suporter yang sama-sama mendukung tim sepakbola yang sama pula.
D.    Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Memberi sumbangan pemikiran teoritis dalam kajian konflik antara dua suporter sepakbola yang mendukung tim yang sama, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang proses interaksi yang berlangsung dalam koflik suporter sepakbola Brajamusti dan The Maident.
2. Praktis
Memberi sumbangan pemikiran dan tambahan pengetahuan serta wawasan agar dapat bisa menjadi bahan reverensi bagi para pengamat olahraga, wartawan, dan masyarakat, khususnya Jogjakarta dan sekitarnya, serta organisasi suporter-suporter sepakbola Indonesia, terlebih Brajamusti dan The Maident sendiri sebagai acuan untuk meminimalisir konflik antar suporter sepakbola, khususnya Brajamusti dan The Maident.

E.     Kerangka Teori
Selalu ingin tahu adalah sifat dasar manusia, berbagai hal paling biasa terjadi dalam kehidupan kita adalah hal-hal yang sudah kita terima apa adanya. Segala upaya yang dilakukan untuk mengemukakan atau menjelaskan suatu pengalaman disebut dengan teori, teori adalah pendapat umum atau ide tentang bagian sesuatu yang terjadi. Dengan teori maka akan menuntun kita kepada suatu pengalaman dan tindakan nyata. Teori-teori mendefinisikan pola-pola kejadian yang ada sehingga kita dapat menjadi mengerti apa yang harus kita harapkan. Teori-teori pula yang menarik perhatian kita kepada aspek-aspek penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya teori akan membentuk kita memusatkan mana hal yang penting dan mana hal yang tidak penting. Dalam penelitian, dibutuhkan landasan teori sebagai landasan berpikir dalam memecahkan masalah yang dihadapi, sehingga landasan teori akan memuat pokok-pokok pikiran dalam menggambarkan permasalahan yang dihadapi dan memudahkan kita untuk mencari pemecahan masalah yang dihadapi (Handaka, 2008 : 15). Adapun teori yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Perspektif Konstruktivisme (Interpretif)
Perspektif sering kita kenal dengan makna yang lebih mudah yaitu sudut pandang. Bagaimana seseorang menilai, memandang suatu fenomena sosial yang ada. Sudut pandang setiap individu tentunya berbeda-beda, satu sama lain saling melengkapi atau bahkan saling mengkritis. Penelitian dengan menggunakan perspektif konstruktivisme (interpretif), adalah penafsiran data dari suatu pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap suatu fenomena yang diteliti. Dengan menggunakan pendekatan interpretif, maka peneliti akan dapat melihat fenomena dan menggali pengalaman dari objek penelitian. Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti (Salim, 2001 : 42). Secara umum pendekatan interpretif merupakan sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi. (Newman, 1997: 68). Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretif.
Fakta-fakta tidaklah imparsial, objektif dan netral. Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang beragantung pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar. Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak dan dapat dinterpretasikan dengan berbagai cara (Newman, 1997: 72). Teori interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pelaku. Jadi, pendekatan interpretif adalah suatu tindakan kreatif dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna. Pendekatan teori interpretif cenderung menghindarkan sifat-sifat prespektif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang diamati.
Dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan yang terperici pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh Brajamusti maupun The Maident selama penelitian untuk memperoleh data, dan kemudian melakukan penafsiran data tersebut.Secara ontologi penelitian ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya.Perspektif konstruktivisme interpretif lebih mengedepankan pengamatan dan penafsiran dalam memandang suatu fenomena sosial yang dicermati dalam setiap penelitian yang dilakukan.
Dengan demikian hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subyektif dan spesifik mengamati hal-hal tertentu dalam peneliti. Dalam perspektif interpretif tidak ada kebenaran yang mutlak ataupun kesalahan yang absolut. Semua hal dinilai dari sudut pandang tertentu sesuai dimana ia berada dalam satu komunitas. Penilaiaan terhadap sebuah fakta, realita dan fenomena sosial tidak begitu saja menghasilkan suatu keputusan apakah itu baik atau buruk, benar atau salah. Semua tergantung dari sudut pandang yang diyakini. Sebuah pemaknaan akan menghasilkan suatu konstruksi yang lambat laun terbangun tanpa kesadaran dan akhirnya menjadi sebuah keyakinan. Interpretif menciptakan banyak realitas dan fakta. Dalam wilayah ini, pembahasan lebih terpusat tentang bagaimana sebuah realita diciptakan, bukan tentang bagaimana sebenarnya yang benar. Sebuah makna bukan hanya seperti yang terlihat, tetapi nilai dan maksud yang terkandung didalamnya tidak terbatas. Dalam perspektif ini kebenaran tentang makna menjadi bias. Perspektif interpretif menjadi sabuah telaah untuk menilai, mengungkap makna dan memberikan arti terhadap suatu fenomena sosial.
2. Tradisi Sosiokultural dalam Komunikasi
Untuk memahami tradisi sosiokultural dalam menjelaskan pola interaksi antar budaya, maka kita akan membahas tentang komunikasi terlebih dahulu. Komunikasi sangat erat hubungannya dengan pola interaksi antar budaya. Komunikasi berhubungan dengan prilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemukakan lewat prilaku manusia. Sebelum prilaku dapat disebut pesan, prilaku harus memenuhi dua syarat. Pertama, prilaku harus diobservasi oleh seseorang, dan kedua, prilaku harus mengandung makna. Dengan kata lain prilaku yang mengandung makna bisa diartikan sebagai suatu pesan (Mulyana, 1993 : 13).
Interaksi antar budaya tidak akan lepas dari apa yang disebut dengan komunikasi. Komunikasi sangatlah lekat dengan bahasa. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan tekhnoligi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagimana mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respon-respon terhadap dan fungsi-fungsi dari budaya mereka. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi kegenerasi melalui usaha individu dan kelompok (Mulyana, 1993 : 19).
 Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan prilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya dan komunkasi tidak dapat dipisahkan karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatiakan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaraan prilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi, bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi.
 Tradisi sosiokultural biasanya dieratkan ketika seorang individu berada dalam hubungan suatu kelompok ataupun komunitas. Pendekatan sosiokultural dalam teori komunikasi mengedepankan dalam cara bagaimana atau tata cara pemahaman orang, maksud, arti, normanorma, aturan dan peran yang dipecahkan secara interaktif di dalam komunikasi. Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi-variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunikasi manusia atau kelompok sosial. Perlintasan komunikasi itu menggunakan kode-kode pesan, baik secara verbal maupun non verbal yang secara alamiah selalu digunakan dalam semua konteks interaksi. Pusat perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan, dan bagaimana makna serat pola-pola itu diartikulasi dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan tekhnologi yang melibatkan interaksi antar manusia. Andrea L.Rich dan Dennis M.Ogawa menyatakan dalam buku Intercutural Communication, A Reader bahwa komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial (Larry A.Samovar dan Ricard E.Porter dalam Purwitasari 2005 : 25).
Sangat bersinggungan sekali dengan peryataan diatas,komunikasi diantara anggota Brajamusti merupakan suatu fenomena komunikasi multikultur. Bermacam orang-orang yang berbeda kebudayaan, agama, suku bangsa, kelas sosial, berkumpul dan berinteraksi dalam suatu organisai, yaitu Brajamusti. Keanekaragaman mereka yang berinterkasi dan berkomunikasi dalam Brajamusti akan menggambarkan bermacam-macam kebudayaan dalam suatu kelompok. Hal ini menggambarkan betapa banyaknya budaya yang ada dalam suatu komunitas ternyata sulit untuk disatukan (Mulyana, 1993 : 20). Oleh sebab itu, perbedaan budaya yang sulit disatukan tentu akan memungkinkan ketimpangan dalam sistem sosial, lambat laun akan dapat memunculkan konflik yang berakar dari perbedaan budaya (Mulyana, 1993 : 21). Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antar pribadi dan komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Akibatnya, interaksi dan komunikasi yang sedang dilakukan itu membutuhkan tingkat keamanan dan sopan santun tertentu, serta peramalan tentang sebuah atau lebih aspek tertentu terhadap lawan bicara. Pengertian tersebut membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antar budaya bahkan semakin besar derajat perbedaan antar budaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk meramalkan suatu tingkat kepastian. Tampaknya tidak ada jaminan akurasi atas interpretasi pesan-pesan, baik verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang yang berbeda budaya, maka kita juga memiliki perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, drajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, dan suasana misterius, yang tidak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, dan bahkan tampak familiar (Liliweri, 2003 : 12).
 Berbicara subjek kajian komunikasi antar budaya adalah berbicara tentang hal ikhwal komunikasi manusia. Manusia dengan segala produk sentral produknya menjadi sentral kajian komunikasi, masyarakat dan kebudayaan. Seluruh kegiatan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, makhluk individu maupun sebagai makhluk religius, pada dasarnya untuk tujuan kebahagiaan dan ketentraman hidup.Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia membutuhkan orang lain.
 Dalam masyarakat multikultur, terdapat pula perbedaan kelas sosial di dalamnya. Kelas-kelas sosial tersebut mewarnai kehidupan masyarakat multikultur.Dalam masyarakat multikultur kehidupan semakin komplek, tuntutan individu meningkat baik kualitas maupun kuantitas, seperti perbaikan gaji, perbaikan kesehatan, pendidikan yang memadai, lapangan kerja yang cukup.Untuk mencapai peningkatan kualitas hidup setiap individu atau kelompok menjalin hubungan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Hal tersebut menimbulkan kompetisi antar individu atau kelompok lainnya.Akibatnya dalam masyarakat multikultur pertentangan tidak dapat dihindari.
3. Konflik Sosial
Konflik disertai dengan kekerasan memang sering terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Tidak jarang konflik yang terjadi dikarenakan suatu perkara sepele, namun dapat menyulut konflik yang besar dan berkepanjangan. Dampak dari suatu konflik menjadi perhatian serius, karena tidak hanya menimbulkan kerugian materi namun nyawa pun dapat melayang akibat konflik. Di Indonesia, konflik dengan kekerasan sudah ada sejak zaman prakolonial, hingga sekarang. setelah perjuangan kemerdekaan, selama lima puluh tahun pertama, Indonesia dilanda berbagai konflik dengan kekerasan yang berkaitan dengan separatisme, peranan agama dan negara sekuler, dan pembagian kekuasaan, konflik suku, konflik politik, konflik agama dan konflik sosial. Konflik-konflik pada masa lalu dapat menjadi model bagi konflik masa datang, atau konflik yang belum terpecahkan pada masa lalu dapat menjadi pemicu sesungguhnya yang diwariskan sebagai trauma, kejahatan remaja, kejahatan, atau konflik komunal yang baru. Bila kondisi-kondisi yang melandasi konflik tetap tidak diperbaiki, pecahnya konflik kembali hanya soal waktu dan intensitas saja. Orang yang pesimis melihat warisan sejarah sebagai kutukan pada kelompok-kelompok untuk memainkan kembali siklus yang tidak berkesudahan Dalam berbagai konflik, seandainya latar belakang sebab-musabab digali dengan memadai, dampaknya akan sangat besar. Di antara faktor-faktor penyebab konflik dengan kekerasan, setidak-tidaknya dihulu konflik spesifik, adalah kesenjangan horisontal, pemerintahan yang buruk, dan tidak adanya kepercayaan pada sistem keamanan dan sistem peradilan. Contoh-contoh sudah banyak dan kembali terulang, ketika aparat keamanan tidak melakukan intervensi dengan cepat tanpa memihak, dan dengan kekuatan yang tepat. Konflik sosial merupakan gejala universal dan selalu ada di dalam masyarakat mana saja, tidak ada suatu masyarakat pun yang terbebas dari konflik. Selagi masyarakat masih ada, selama itu pula konflik dapat muncul. Konflik tidak dapat dihilangkan, melainkan hanya dapat dicegah atau dikurangi agar tidak semakin meluas. Di dalam upaya melihat persoalan konflik harus dipilih antara kondisi (condition) atau faktor penyebab dengan pemicu (pre cipitation) atau kejadian. Dengan demikian, akan diperoleh pemahaman yang cukup menyeluruh mengenai akar permasalahan konflik tersebut. Paling tidak ada tiga komponen dari konflik yaitu pertama, anteseden atau kondisi-kondisi yang mendahului, kedua, prilaku konflik dan ketiga aspek-aspek kognitif dan afektif konflik. Ketiga komponen konflik ini menjadi penting dalam rangka memahami dan menganalisis konflik. Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan yaitu berupa berupa konfrontrasi fisik antara beberapa pihak (Pruitt dan Rubin, 1986 : 6).
 Namun demikian, makna konflik tersebut berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal (Pruitt dan Rubin dalam Suyatna, 2007 15). Kita telah menyaksikan banyaknya perubahan yang disertai terjadinya konflik. Di samping itu, ketika konflik memang terjadi, biasanya dapat diatasi tanpa sakit hati maupun dendam, dan bahkan disertai sejumlah fungsi positif. Sekalipun demikian, konflik benar-benar mampu menimbulkan malapetaka di masyarakat, tidak hanya harta benda terkadang nyawapun melayang akibat konflik. Konflik sosial sangat bermacam ragamnya, seperti konflik ras, konflik politik, konflik etnis, konflik agama, dan lainnya. Perkelahian, peperangan, anarkisme sepertinya telah menjadi komposisi wajib dalam suatu konflik. Adanya konflik selalu menjadi perhatian yang serius di suatu pemerintahan dan elemen-elemen masyarakat, karena dampak dari konflik selalu dapat menimbulkan berbagai masalah baru pada suatu bidang, misalnya konflik dapat berpengaruh terhadap masalah ekonomi, pilitik, bahkan konflik dapat mengacaukan stabilitas pemerintahan suatu negara. Hal ini menunjukkan keberadaan konflik di suatu masyarakat dapat menjadi wabah permasalahan suatu tatanan pemerintahan, tatanan aturan dan norma masyarakat, bahkan tatanan kebudayaan. Di dalam devinisi lainnya konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (percived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi-aspirasi pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara stimulan (Pruitt dan Rubin, 1986 : 9-10). Konflik yang terjadi antara Brajamusti dan The Maident merupakan persepsi mengenai perbedaan kepentingan dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan yang ingin terrealisasikan dan aspirasi-aspirasi diantara mereka yang tidak dicapai secara stimulan sehingga mampu menimbulkan berbagai masalah diantaranya masalah stabilitas keamanan di kota Jogjakarta. Akibat dari konflik yang terjadi antara Brajamusti dan The Maident, khususnya pada saat laga PSIM digelar di stadion Mandala Krida baik di dalam maupun di luar area. Sedikit banyak hal ini mampu berpengaruh pada stabilitas keamanan karena menyibukkan aparat keamanan untuk meminimalisir agar konflik tidak terjadi. Ramainya konfoi kendaraan Brajamusti maupun The Maident juga menjadi kewaspadaan aparat, karena sering terjadi bertemunya Brajamusti dan The Maident dijalanan, sering menimbulkan kontak fisik diantara mereka, aksi saling lempar pun juga sering terjadi antara anggota Brajamusti dan The Maident di luar area stadion ketika bertemu satu sama lain. Brajamusti dan The Maident yang terjadi di jalan-jalan raya kota Jogja sangat mengganggu aktifitas lalu lintas dan sangat mengganggu stabilitas keamanan kota Jogja. Tidak jarang pula rasa ketakutan menghadapi konflik yang terjadi antara Brajamusti dan The Maident berpengaruh pada toko-toko atau warung-warung di seruas jalan yang dilewati rombongan Brajamusti dan The Maident memilih untuk tutup demi menjaga keamanan. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar konflik disebabkan oleh pertarungan memperebutkan sumberdaya : latar belakangnya adalah situasi, aspirasi yang sedang meningkat diikuti oleh harapan yang menipis, dan konflik pada umumnya (meski tidak selalu) memberikan pada pemenang bagian yang lebih besar dari tanah, modal, atau pengaruh dalam jangka pendek atau jangka panjang (Atran dalam Suyatna, 2007 : 4).
 Persepsi tentang perbedaan kepentingan di suatu kelompok atau organisasi yang tidak ada pangkal dan ujungnya dalam memecahkan masalah, mampu menimbulkan konflik, dan konflik yang terjadi mampu menimbulkan malapetaka. Selain perbedaan kepentingan yang terjadi pada suatu organisasi, adanya aspirasi-aspirasi yang kakupun sering menimbulkan konflik. Maka secara ringkas, konflik yang didevinisikan sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam itu terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau pihak lain bersifat kaku dan menetap atau tidak ada sikap saling mengalah diantara mereka. Konflik muncul oleh berbagai sebab. Sebab-sebab konflik antara lain adalah (1) sumberdaya dan keinginan (seperti konflik atas simpan minyak, batasan, hak atas tanah dan lain-lain), (2) kepemerintahan (seperti legitimasi politik, hak memilih, strategi pembangunan), (3) ideologi dan agama (seperti konflik atas kapitalisme dan komunisme atau Islam dan Kristen) dan (4) identitas (seperti konflik antar etnis) (Doecet dalam Suyatna, 2007 : 15). Sebab-sebab konflik berkaitan satu sama lain secara sistematis, dan karena itu masalah harus dilihat secara holistik. Ini tidak berarti bahwa seorang peneliti tidak dapat mengatakan bahwa sebab-sebab spesifik adalah penentu dan memusatkan tenaganya pada penelitian kearah tertentu sejauh dimungkinkan. Ini dapat diterima sepenuhnya dari sisi metodologi (dalam kenyataan, terobosan ilmiah sering tercipta melalui fokus yang sempit), dan peneliti dapat menarik manfaat besar dari informasi rinci dan spesifik. Pernelitian yang paling berguna tentang kajian konflik, bila peneliti mampu menyusun kronologi sebab akibat, memperkirakan arah dan kekuatan antara para pelaku konflik dengan peristiwa-peristiwa yang membentuk sistem yang bersangkutan (Anwar dalam Suyatna, 2007 : 5). Konflik yang terjadi antara Brajamusti dan The Maident digolongkan menjadi konflik atas dasar sumber daya, keinginan dan identitas, dimana masing-masing pihak saling berebut tempat di stadion Mandala Krida untuk menjadi penguasa tunggal sebagai suporter PSIM Jogjakarta, dan selain menjunjung tinggi atribut yang mereka kenakan masing-masing untuk mengungguli kelompok suporter lain atau suporter yang mereka anggap musuh. Kekerasan pada akhirnya merupakan salah satu bentuk tindakan yang tidak terelakkan dari terjadinya konflik Brajamusti dan The Maident, seperti saling pukul, merusak stadion, saling melempar botol minuman dan lainnya.Inti kekerasan sering kali disebut juga dengan kekejaman, yakni bagaimana membuat rasa takut, menderita dan tunduk terhadap kepentingan kelompok atau orang tertentu (Suyatna, 2007 : 16). Pertikaian antara Brajamusti dan The Maident menjadi salah satu bukti kekerasan yang ada di dalam sepakbola. Walaupun panitia penyelenggara telah berusaha meminimalisir konflik yang terjadi antara Brajamusti dan The Maident dengan mendatangkan aparat keamanan, namun pertikaian diantara mereka masih saja terjadi baik di dalam ataupun di luar stadion. Dengan demikian kerusuhan juga menjadi hal yang wajib dan sepertinya selau mengiringi dinamika persepakbolaan tanah air, khususnya di Jogjakarta. Konflik dapat meletus karena ada sumber yang mendasari terjadinya konflik antara beberapa pihak.

A. Sumber-sumber Terjadinya Konflik
Selama masyarakat itu ada maka konflik akan selalu ada. Tidak serta merta konflik itu terjadi dengan sendirinya, melainkan pasti ada sesuatu yang mengawalinya. Pada pembahasan ini akan diuraikan tentang 5 sumber-sumber yang memicu terjadinaya konflik: 1. Persepsi Mengenai Kekuasaan, 2. Aturan dan Norma, 3. Perbandingan dengan Orang Lain, 4. Terbentuknya Kelompok Pejuang (Stungle Group)(Pruitt dan Rubin 1986 : 29).
1. Persepsi Mengenai Kekuasaan
Kekuasaan selalu menjadi impian setiap orang. Perebutan kekuasaanlah mampu membuat manusia lupa akan jatidirinya. Dengan kekuasaan orang dapat mewujudkan apapun yang ia inginkan. Dengan kekuasaanlah manusia mampu berkuasa dan menguasai yang lainnya. Dengan kekuasaan akan memunculkan otoritas. Dengan kekuasaan manusia dapat menjadi srigala bagi manusia lainnya, yang artinya manusia akan menjadi ambisius, tega dan mematikan bagi sesama. Namun di sisi lain dengan kekuasaan mampu membawa perubahan yang besar pada suatu bidang. Perubahan yang buruk menjadi lebih baik yang terbelakang menjadi lebih maju dan sebagainya. Secara garis besar, dengan kekuasaan manusia dapat merubah segalanya. Banyaknya orang yang menginginkan kekuasaan menjadikan kekuasaan selalu diidam-idamkan oleh banyak orang maupun kelompok. Dengan memiliki kekuasaan, tentunya orang akan mampu mewujudkan aspirasinya, dan karena perebutan kekuasaanlah satu sama lain bisa bertikai dan mampu memicu terjadinya konflik. Kehadiran The Maident mendominasi suporter PSIM Jogja di tribun Utara stadion Mandala Krida membuat persaingan dengan Brajamusti. Masing-Masing pihak ingin menjadi penguasa di Stadion Mandala Krida, dilain pihak mereka ingin menunjukkan kualitas yang terbaik pada warga Jogjakarta sebagai suporter PSIM dan Liga Indonesia. Hal ini menyiratkan bahwa konflik khususnya akan muncul ketika terdapat ambiguitas mengenai sifat kekuasaan sedemikian rupa, sehingga masing-masing pihak dapat menyimpulkan melalui proses pemikiran yang penuh harap bahwa pihaknya lebih kuat dari pihak lain. Persepsi suatu kelompok yang menganggap bahwa pihaknya memiliki kekuatan atau kekuasaan yang melebihi kelompok lain, maka dapat menciptakan sikap eksploitasi, otoriter bahkan oposisi terhadap kelompok lain, sehingga memungkinkan terjadinya konflik yang berawal dari keinginan menunjukkan kekuatan terhadap kelompok lain. Aspirasi juga cenderung meningkat untuk alasan-alasan yang realistis ketika orang berhadapan dengan seseorang atau sebuah kelompok yang sumber-sumber dayanya dianggap berharga dan tampak lebih lemah dari dalam dirinya sendiri, bila aspirasi pihak lain tidak menurun secara bersamaan dengan meningkatnya aspirasi sendiri, maka konflik yang bersifat eksploitatif menjadi sangat mungkin terjadi (Pruitt dan Rubin 1986 : 30).
2. Aturan dan Norma
Masyarakat dan kelompok-kelompok yang ada didalamnya secara konstan mengembangkan berbagai aturan untuk mengatur prilaku para anggotanya sebagai contoh suporter bola. Suporter bola yang terorganisir, didalamnya pun terdapat aturan yang disepakati bersama, namun dengan adanya aturan atau norma disuatu kelompok atau organisasi lemah, maka dapat memunculkan konflik. Norma atau aturan yang lemah tentunya tidak dapat menstabilitasikan kondisi yang tidak menentu atau mengalami kegoncangan, karena pada hakikatnya fungsi norma kelompok adalah sebagai pengatur, jikalau sesuatu yang mengatur itu lemah, maka tidak dapat mengatur. Konflik bisa terjadi ketika norma sosial dalam keadaan lemah atau sedang dalam perubahan (Pruitt dan Rubin,1987 : 32). Lemahnya tatanan norma sosial atau ketika norma sosial masih dalam perbaikan, menjadikan individu merasa lebih bebas dari aturan. Maka dari itu, anggapan bebas dari aturan yang mengikat menjadikan mereka merasa bebas dalam melakukan apapun dan merasa tanpa ada suatu larangan apapun. Pada saatsaat semacam itu orang cenderung akan membentuk cara pandang yang bersifat idiosyntratik mengenai hak-haknya (Pruitt dan Rubin, 1978 : 33). Cara pandang yang tidak cocok yang di bentuk oleh orang lain, maka dapat menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak-pihak lain dan mampu menimbulkan konflik dengan pihak lain, serta perpecahan suatu kelompok.
3. Perbandingan dengan Orang Lain
Sifat dasar manusia yang memiliki sifat kompetitif, menjadikan manusia untuk hidup selalu melebihi orang lain dari segi apapun. Adanya sifat kompetitif yang ada pada diri seseorang membuat orang itu selalu mengidentifikasi diri sendiri dan orang lain bahkan kelompok lain. Perbedaan persepsi antara kedua belah pihak jika tidak ada suatu yang dapat menjadi penengah untuk menyatukan persepsi tersebut tentu akan menimbulkan perbedaaan persepsi atau cara pandang suatu masalah, dan perbedaan persepsi akan menimbulkan ketegangan diantara kedua belah pihak. Perbedaan persepsi pun bila disatukan dan kedua belah pihak bersikeras dalam memegang persepsi masing-masing, tentunya akan menimbulkan suatu perdebatan. Perdebatan yang berkepanjangan akhirnya mampu memunculkan kebencian dan kebencian pula yang nantinya akan memunculkan konflik yang kerap melegalkan kekerasan (anarkisme).
Konflik antar kelompok bisa terjadi bila salah satu kelompok yang memiliki kedekatan kebersamaan lebih mengungguli kelompoklainnya. Sifat ini yang mendasari persaingan yang tidak sehat akan menimbulkan gejolak ingin menjatuhkan kelompok lain dan hal seperti inilah yang dapat menimbulkan konflik. Perseteruan antara Brajamusti dan The Maident terjadi karena persaingan diantara mereka dalam menjadi penguasa di Stadion Mandala Krida. Sisi lain konflik antara Brajamusti dan The Maident terjadi karena kedua belah pihak ingin menunjukkan siapa yang terbaik di Jogjakarta dan terlebih di kancah suporter Liga Indonesia. Adanya persaingan yang tidak sehat, yel-yel provokatif, dan sikap saling menjatuhkan satu sama lain menjadi masalah yang pelik diantara mereka dan sulit menemui jalan keluar karena konflik ini dalam kurun waktu yang sebentar mampu menjadi konflik sosial yang besar.
4. Terbentuknya Kelompok Pejuang (Struggle Group)
Perasaan senasib, seperjuangan, seaspirasi yang ingin selalu terwujudkan, mampu memicu timbulnya suatu kelompok atau organisasi baru (strunggel group) dari organisasi sebelumnya. Timbulnya kelompok baru dapat menghadirkan persaingan dengan kelompok yang lama. Persaingan karena ingin menunjukkan siapa yang terbaik, hal seperti ini mampu memunculkan konflik. Ketika pepecahan suatu kelompok telah terjadi, dan memunculkan kelompok baru dari perpecahan tersebut maka perpecahan tersebut akan memunculkan rasa tidak rela dan merasa dikhianati. Persepsi inilah yang nantinya akan memunculkan rasa benci terhadap kelompok yang dianggap berkhianat. Perasaan seperti inilah yang juga mampu memunculkan persaingan yang tidak sehat dan rasa saling menjatuhkan satu sama lain.
Lepasnya suatu kelompok terhadap kelompok lain yang dikarenakan perbedaan usul, persepsi, mampu memunculkan konflik suatu kelompok yang lepas dengan kelompok lainnya (struggle groupe), dikarenakan rasa tidak puas, dendam perpecahan dan sebagainya. Ada 3 kondisi yang mendukung kemunculan sebuah struggel group yang sering kali menjadi pendorong konflik, yaitu (1) komunikasi terus-menerus antara orang senasib; (2) adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi; mengorganisasikan kelompok; dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok; dan (3) legitimasi di mata komunitas yang lebih luas atau setidak-tidaknya tidak ada tekanan komunitas yang efektif terhadap kelompok (Dahrendorf dalam Pruitt dan Rubin, 1987 : 34-35). Ketika konflik tidak bisa dihindari maka mampu mengakibatkan permasalahan diberbagai pihak bila tidak segera diatasi maka dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi konflik dibutuhkan 5 strategi, yaitu : contending, yeilding, problem solving, with drawing, inaction (Pruitt dan Rubin, 1987 : 56).
a. Contending (Bertanding)
Ketika suatu konflik telah meletus, berbagai tindakan pun dilakukan oleh pihak yang berkonflik maupun suatu pihak yang tidak berkonflik untuk meredam dan menyelesaikan konflik. Contending meliputi segala macam usaha untuk menyelesaikan konflik menurut kemampuan seseorang tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain (Pruitt dan Rubin, 1987 : 56).Pihak-pihak yang menerapkan strategi ini tetap mempertahankan aspirasinya sendiri dan mencoba membujuk pihak lain untuk mengalah. Ada pelbagai pihak yang digunakan oleh mereka yang memakai strategi ini untuk menyelesaikan konflik.
b. Yeilding (Mengalah)
Ketika konflik telah terjadi dengan mengalah suatu pihak maupun semua pihak yang berkonflik akan meredam dan menyelesaikan konflik. Mengalah tidak hanya sekedar mundur namun dilakukan dengan penuh kesadaran Yeilding yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan baru dia menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan (Pruitt dan Rubin,1987 :4). Inilah cara bagian yang dilakukan untuk menghindari konflik, masing-masing pihak bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya mereka inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima keduabelah pihak. Dengan menggunakan strategi yelding memang menciptakan solusi yang berkualitas tinggi.


c. Problem Solving (Memecahkan Masalah)
Konflik yang terjadi bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama, dengan mencari akar permasalahan penyebab terjadinya konflik tentunya menjadi suatu alasan untuk menyelesaikan suatu konflik. Hal ini dilakukan dengan mencari alternatif agar mampu mendamaikan kedua belah pihak Problem solving yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak (Pruitt dan Rubin, 1987 : 5). Dimana ada perseteruan yang terjadi yang terjadi dan terasa alot untuk diselesaikan maka diambil langkah mencari alternatif (jalan lain) untuk menyelesaikan perseteruan kedua belah pihak. Berbagai macam taktik tersedia untuk menerapkan strategi problem solving, termasuk diantaranya adalah tindakan-tindakan beresiko seperti kesediaan untuk mengalah dengan harapan dapat memperoleh kembali konsensinya, mengemukakan kompromi untuk berunding, dan sebagainya.
d. With Drawing (Menarik Diri)
Menarik diri merupakan suatu langkah untuk menghindari suatu konflik. Menarik diri dilakukan dengan menjauhi situasi konflik maupun tempat konflik dan hal-hal yang dapat memicu terjadinya konflik. With drawing yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis (Pruitt dan Rubin,1987 : 5). With drawing melibatkan pengabaian kontrovers, sedangkan dalam ketiga strategi yang lain terkadang upaya mengatasi konflik yang berbeda satu sama lain. Tidak adanya campur tangan dan memilih menyingkirkan diri dari pihak yang berkonflik atau berseteru merupakan prinsip dari with drawing.
e. Inaction (Diam)
Dengan tidak melakukan apapun dan memilih tidak ikut campur dengan suatu pihak yang berseteru tentunya akan mereda sikap emosi pihak lain. Disinilah keutamaan sikap inaction, karena mampu menghindari keruhnya suasana yang berkonflik. tentunya, untuk menerapkan strategi ini dibutuhkan kesadaran emosi yang tinggi dari satu pihak atau beberapa pihak yang berkonflik. Karena, inaction ini bila diterapkan tidak semudah yang dibayangkan, sebab strategi ini nantinya akan berhubugan erat dengan strategi yang ke-2, yaitu yeilding (mengalah). Dengan diam demi menghindari konflik, terkadang juga masih tetap menghadapi kondisi teror dan ancaman dari musuh. Oleh karena itu, agar konflik dapat teredakan atau bahkan terselesaikan, tentunya tidak hanya menerapkan salah satu strategi saja, namun saling berkaitan satu samam lain. Inaction yaitu tidak melakukan apapun (Pruitt dan Rubin, 1987 : 6).

F.     Metodelogi Penelitian

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan meneliti bagaimana fanatisme mampu memunculkan sikap anarkis di dalam konfik yang terjadi antara suporter sepakbola Brajamusti dan The Maident. Dalam hal ini penulis akan mendeskripsikan fanatisme yang ada pada masing-masing pihak. Karenanya peneliti harus bisa meneliti secara ilmiah tentang isu yang diangkat dalam penelitian ini. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metede penelitian kualitatif. Metode penelitian ini dipilih karena dinilai paling sesuai untuk diterapkan kedalam penelitian yang mendeskripsikan bagaimana fanatisme mampu memicu tindakan anarkis sehingga menimbulkan konflik antara Brajamusti dan The Maident. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1990: 31).
 2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat di kota Jogjakarta, khususnya markas besar Brajamusti  Jl. Kenari No 5 Jogjakarta, dan berbagai korwil Brajamusti di Jogjakarta dan sekitarnya, serta Markas besar The Maident di Jalan Pringgokusuman Malioboro Yogyakarta.
3. Objek Penelitian
Penelitian ini memilih obyek penelitian fanatisme, anarkis dan konflik suporter sepakbola di Jogjakarta antara Brajamusti dan The Maident, karena peneliti ingin sekali mengungkapkan sikap fantisme yang ada pada Brajamusti maupun The Maident yang mampu menciptakan sikap antipati satu sama lain dan menciptakan sikap anarkis yang dapat melahirkan konflik diantara mereka.
4. Pengumpulan Data
Kegiatan mengumpulkan data dalam suatu penelitian sangat membutuhkan ketelitian, kecermatan, serta penyusunan program yang terperinci. Hal ini mempunyai maksud agar diperoleh data yang benar-benar relevan. Maka dari itu, didalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan 3 metode :
4.1. Interview (wawancara)
Interview atau wawancara dipergunakan sebagai cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan wawancara dengan berbagai narasumber. Tekhnik ini mempunyai kelebihan yakni penanya dapat menerangkan secara detail pertanyaan yang diajukan, selain itu interview merupakan salah satu metode pengumpulan data yang lain, pelaksanaannya dilakukan secara langsung dengan yang diwawancarai.
4.2. Observasi
Metode observasi menuntut peneliti dalam melakukan penelitian lamngsung terjun kepada subyek penelitian dengan melakukan pengamatan secara langsung dengan waktu yang cukup lama. Observasi ialah metode pengumpulan data secara sistematis melalui pengamatan terhadap fenomena yang diteliti (Mustofa, 2007 : 36).
4.3. Kepustakaan
Tekhnik ini digunakan dalam keseluruhan proses penelitian sejak awal hingga akhir penelitian dengan cara memanfaatkan cara berbagai macam pustaka yang relevan dengan fenomena sosial yang dicermati (Mustofa, 2007 :57).
Bentuk-bentuk data yang dipakai dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua :
a. Data Primer
Adalah data yang diperoleh dari sumber pertama baik dari individu seperti hasil dari wawancara (Mustofa, 2007 : 61)
b. Data Sekunder
Adalah data primer yang telah diolah lebih lanjut dan telah disajikan oleh pihak lain (Mustofa, 2007 : 61). Setelah semua data terkumpul, kemudian data dideskripsikan dan diinterpretasikan sehingga dapat ditarik kesimpulan secara umum.

5.      Tekhnik Sampling
Dalam penelitian ini, informan ditentukan dengan cara Snowball Sampling. Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel.

6.      Uji Validitas Data
Dalam penelitian ini, sebelum data di analisis dan disajikan dalam bentuk laporan maka data yang diperoleh di uji validitas datanya menggunakan Review Informan.
7.      Tekhnik Analisis Data
Tekhnik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis data deskriptif kualitatif. Analisis data adalah usaha untuk menemukan jawaban atau pertanyaan perihal rumusan-rumusan dan pelajaran-pelajaran atau hal hal yang tersusun dan diperoleh dalam proyek penelitian (Moleong, 1990: 150).
Tekhnik untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Langkah – langkah dalam analisis data kualitatif yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah :
a.       Pengumpulan data. Data penelitian diperoleh dengan cara wawancara mendalam. Dalam penelitian ini data-data yang diambil adalah mengenai konflik suporter antara Brajamusti dengan The Maident.
b.      Reduksi Data. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan dan pemusatan pada data yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data-data yang direduksi adalah data-data dari hasil wawancara mendalam yang didapat dari lapangan. Setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, selanjutnya diambil data yang memiliki relevansi dengan penelitian dan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian ini.
c.       Penyajian data merupakan upaya penyusunan, pengumpulan informasi ke dalam suatu metrik atau konfigurasi sehingga mudah untuk dipahami. Penyusunan semacam ini memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang sederhana dan mudah untuk difahami adalah cara utama untuk menganalisa data deskriptif yang valid.
d.      Menarik kesimpulan. Berdasarkan pengumpulan data, peneliti mulai mencari makna dari data-data yang tekumpul. Selanjutnya peneliti mencari arti dan penjelasannya, kemudian menyusun pola-pola hubungan tertentu kedalan satu satuan informasi yang mudah di fahami dan di tafsirkan sehingga dapat menarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.

Daftar Pustaka
G,Dean, Pruitt, Z, Jeffri, Rubbin (1986) Teori Konflik Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Handoko, Anung (2008). Sepakbola Tanpa Batas, Yogyakarta. PT.Tiara Wacana
Liliweri, Alo, (2003). Dasr-dasar Komunikasi Antar budaya, Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Moleong, Lexy J, (1993) Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remadja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy (2002). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Rosda Karya
Mulyana, Deddy, Rakmat, Jalaluddin (1993). Komunikasi Antar budaya. Bandung. PT Remaja Rosdakarya


Mustofa, Bisri (2007). Tuntunan Karya Ilmiah. Yogyakarta. Panji Pustaka
Neuman, W. Lawrence (2000), Social Resarch Methods Qualitative and Quantitative Approaches, Fourth Edition, Allyn & Bacon
Purwitasari, Ira, (2005). Komunikasi Antar budaya, Universitas Mercu Buana, Jakarta
Salim, Agus (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta. PT Tiara Wacana
Suyatna, Hempiri (2007). Suporter Sepakbola Indonesia Tanpa Anarkis, Mungkinkah? Yogyakarta. Media Wacana

http://www.brajamustijogja.com. desember 2010, downloads 22 mei 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar